Selasa, 15 Desember 2015

Autism

Autism is a neurodevelopmental disorder characterized by impaired social interaction, verbal and non-verbal communication, and restricted and repetitive behavior. Parents usually notice signs in the first two years of their child's life.[2] These signs often develop gradually, though some children with autism reach their developmental milestones at a normal pace and then regress.[3] The diagnostic criteria require that symptoms become apparent in early childhood, typically before age three.[4]
While autism is highly heritable, researchers suspect both environmental and genetic factors as causes.[5] In rare cases, autism is strongly associated with agents that cause birth defects.[6] Controversies surround other proposed environmental causes;[7] for example, the vaccine hypotheses have been disproven. Autism affects information processing in the brain by altering how nerve cells and their synapses connect and organize; how this occurs is not well understood.[8] It is one of three recognized disorders in the autism spectrum (ASDs), the other two being Asperger syndrome, which lacks delays in cognitive development and language, and pervasive developmental disorder, not otherwise specified (commonly abbreviated as PDD-NOS), which is diagnosed when the full set of criteria for autism or Asperger syndrome are not met.[9]
Early speech or behavioral interventions can help children with autism gain self-care, social, and communication skills.[2] Although there is no known cure,[2] there have been reported cases of children who recovered.[10] Not many children with autism live independently after reaching adulthood, though some become successful.[11] An autistic culture has developed, with some individuals seeking a cure and others believing autism should be accepted as a difference and not treated as a disorder.[12]
Globally, autism is estimated to affect 21.7 million people as of 2013.[13] As of 2010, the number of people affected is estimated at about 1–2 per 1,000 worldwide. It occurs four to five times more often in boys than girls. About 1.5% of children in the United States (one in 68) are diagnosed with ASD as of 2014, a 30% increase from one in 88 in 2012.[14][15][16] The rate of autism among adults aged 18 years and over in the United Kingdom is 1.1%.[17] The number of people diagnosed has been increasing dramatically since the 1980s, partly due to changes in diagnostic practice and government-subsidized financial incentives for named diagnoses;[16] the question of whether actual rates have increased is unresolved.[18]
This is take from:https://en.wikipedia.org/wiki/Autism

Adik atau Anak Saya Berbeda!

Banyak orang yang menganggap bahwa disleksia dapat memengaruhi tingkat inteligensi atau kecerdasan penderitanya, tapi anggapan ini tidaklah benar. Anak dengan tingkat kecerdasan baik rendah maupun tinggi, bisa menderita disleksia. Disleksia adalah salah satu jenis gangguan atau kesulitan belajar yang umumnya memengaruhi kemampuan membaca serta pengejaan seseorang.
sweet little girl bored under stress with a tired face expression

Penyebab dan Gejala Disleksia

Penyebab disleksia belum diketahui secara pasti. Para pakar menduga faktor keturunan atau genetika berperan di balik gangguan belajar ini. Seorang anak memiliki risiko menderita disleksia jika orang tuanya menderita gangguan yang sama.
Gejala-gejala dalam disleksia sangat bervariasi dan umumnya tidak sama untuk tiap penderita sehingga sulit dikenali, terutama sebelum sang anak memasuki usia sekolah. Ada beberapa gen keturunan yang dianggap dapat memengaruhi perkembangan otak yang mengendalikan fonologi, yaitu kemampuan dan ketelitian dalam memahami suara atau bahasa lisan. Misalnya membedakan kata “paku” dengan kata “palu”.
Selain masalah pada kepekaan fonologi, gejala disleksia juga bisa berupa hal-hal berikut:
  • Kurang memori verbal untuk mengingat urutan informasi secara lisan dalam jangka waktu singkat, semacam perintah singkat seperti menaruh tas dan kemudian mencuci tangan.
  • Kesulitan dalam mengurutkan dan mengucapkan sesuatu dalam kata-kata, misalnya urutan angka, menamai warna-warna, atau benda.
  • Kesulitan memroses informasi lisan, misalnya saat mencatat nomor telepon atau didikte.
Pada balita, disleksia dapat dikenali melalui perkembangan bicara yang lebih lamban dibandingkan anak-anak seusianya dan membutuhkan waktu lama untuk belajar kata baru. Misalnya keliru menyebut kata “ibu” menjadi kata “ubi”. Kesulitan menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan diri dan kurang memahami kata-kata yang memiliki rima.
Indikasi disleksia biasa akan lebih jelas ketika anak mulai belajar membaca dan menulis di sekolah. Anak Anda akan mengalami beberapa kesulitan seperti:
  • Sulit memroses dan memahami apa yang didengarnya.
  • Lamban dalam mempelajari nama dan bunyi abjad.
  • Sering salah atau terlalu pelan saat membaca.
  • Sulit mengingat urutan, misalnya urutan abjad atau nama hari.
  • Sulit mengeja, misalnya huruf “d” sering tertukar dengan huruf “b”.
  • Cara baca yang terbata-bata atau sering salah.
  • Kesulitan mengucapkan kata yang baru dikenal.
  • Lamban dalam menulis, misalnya saat didikte atau menyalin tulisan.
  • Memiliki kepekaan fonologi yang rendah.
Karena sulit dikenali, gejala-gejala disleksia juga ada yang baru disadari setelah penderita beranjak remaja bahkan dewasa. Beberapa di antaranya adalah:
  • Kesulitan membaca dan mengeja.
  • Kesulitan menyalin catatan serta membuat karya tulis, misalnya makalah atau laporan.
  • Sering tidak memahami lelucon atau makna bahasa kiasan, misalnya istilah “otak encer” yang berarti pintar.
  • Kesulitan untuk mengatur waktu, misalnya tenggat waktu dalam tugas.
  • Kesulitan mengingat hal-hal yang berurutan, misalnya nomor telepon.
  • Cenderung menghindari kegiatan membaca dan menulis.
  • Kesulitan berhitung.
Jika Anda mencemaskan perkembangan kemampuan membaca dan menulis anak Anda yang terasa lambat, hubungilah dokter. Terutama jika Anda mengenali gejala-gejala disleksia lain yang dialami anak Anda.

Diagnosis dan Penanganan Disleksia

Sebelum ke dokter atau spesialis, Anda sebaiknya mencari tahu tentang kelebihan serta kekurangan dalam kemampuan anak lebih dulu. Proses ini dapat dilakukan melalui permainan, misalnya puzzle gambar. Jika memungkinkan, Anda juga dapat meminta bantuan dari guru sekolah seperti meminta guru untuk memberikan program remedial.
Disleksia cenderung sulit untuk dideteksi karena gejalanya yang beragam. Diagnosis gangguan ini membutuhkan penilaian dari banyak faktor. Di antaranya:
  • Riwayat, perkembangan, pendidikan, dan kesehatan anak.
  • Keadaan di rumah.
  • Pengisian kuesioner oleh anggota keluarga serta guru sekolah.
  • Tes untuk memeriksa kemampuan memahami informasi, membaca, memori, dan bahasa anak.
  • Pemeriksaan penglihatan, pendengaran, dan neurologi anak untuk menghapus kemungkinan adanya penyakit atau gangguan lain yang menyebabkan gejala-gejala yang dialami.
  • Tes psikologi untuk memahami kondisi kejiwaan anak dan menghapus kemungkinan adanya gangguan interaksi, kecemasan, atau depresi yang dapat memengaruhi kemampuannya.
Setelah hasil diagnosis disleksia sudah pasti, dokter akan menganjurkan penanganan yang sebaiknya dijalani. Disleksia memang tidak bisa disembuhkan, tapi pendeteksian dan penanganan dini terbukti sangat membantu dalam meningkatkan kemampuan penderita, khususnya membaca.
Salah satu bentuk penanganan yang dapat membantu penderita disleksia adalah pendekatan dan bantuan edukasi yang lebih. Penentuan jenis intervensi yang cocok biasanya tergantung pada tingkat keparahan serta hasil tes psikologi penderita.
Bagi penderita disleksia anak-anak, penelitian menunjukkan bahwa intervensi edukasi paling efektif jika diberikan sebelum anak mencapai usia delapan tahun. Jenis intervensi yang paling membantu dalam meningkatkan kemampuan baca dan tulis adalah intervensi yang berfokus pada kemampuan fonologi. Intervensi ini biasanya disebut fonik.
Penderita disleksia juga akan diajari elemen-elemen dasar seperti belajar mengenali fonem atau satuan bunyi terkecil dalam kata-kata, memahami huruf dan susunan huruf yang membentuk bunyi tersebut, memahami apa yang dibaca, membaca bersuara, dan membangun kosakata.
Selain dengan intervensi edukasi, orang tua juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kemampuan anak. Langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan membacakan buku yang menarik minat anak. Kegiatan ini dapat Anda lakukan lebih dari sekali agar anak dapat terbiasa dengan teks dalam buku. Menyemangati dan membujuk anak untuk membaca buku, lalu mendiskusikan isinya bersama-sama akan berguna.
Orang tua juga dianjurkan untuk tidak mencela saat anak melakukan kesalahan dalam membaca sehingga kepercayaan diri anak juga dapat dibangun.
Intervensi edukasi tidak hanya berguna bagi penderita disleksia anak-anak, tapi juga untuk penderita remaja dan dewasa dalam meningkatkan kemampuan baca dan tulis mereka. Di samping itu, melibatkan bantuan teknologi seperti program komputer dengan perangkat lunak pengenalan suara juga umumnya dapat bermanfaat.
Penanganan disleksia membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Karena itu, keluarga serta penderita dianjurkan untuk bersabar menjalaninya. Dukungan serta bantuan dari anggota keluarga serta teman dekat akan sangat membantu.
Catatan bahkan gambar ini dikutip dari: http://www.alodokter.com/disleksia

Disleksia

Disleksia (bahasa Inggris: dyslexia) adalah sebuah gangguan dalam perkembangan baca-tulis yang umumnya terjadi pada anak menginjak usia 7 hingga 8 tahun.[1] Ditandai dengan kesulitan belajar membaca dengan lancar dan kesulitan dalam memahami meskipun normal atau diatas rata-rata. Ini termasuk kesulitan dalam penerapan disiplin Ilmu Fonologi, kemampuan bahasa/pemahaman verbal. Diseleksia adalah kesulitan belajar yang paling umum dan gangguan membaca yang paling dikenal. Ada kesulitan-kesulitan lain dalam membaca namun tidak berhubungan dengan disleksia.
Beberapa melihat disleksia sebagai sebuah perbedaan akan kesulitan membaca akibat penyebab lain, seperti kekurangan non-neurologis dalam penglihatan atau pendengaran atau lemah dalam memahami instruksi bacaan. Ada 3 aspek kognitif penderita disleksia yaitu Pendengaran, Penglihatan, dan Perhatian. Disleksia mempengaruhi perkembangan bahasa seseorang.
Penderita disleksia secara fisik tidak akan terlihat sebagai penderita. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah, kiri dan kanan, dan sulit menerima perintah yang seharusnya dilanjutkan ke memori pada otak. Hal ini yang sering menyebabkan penderita disleksia dianggap tidak konsentrasi dalam beberapa hal. Dalam kasus lain, ditemukan pula bahwa penderita tidak dapat menjawab pertanyaan yang seperti uraian, panjang lebar.
Para peneliti menemukan disfungsi ini disebabkan oleh kondisi dari biokimia otak yang tidak stabil dan juga dalam beberapa hal akibat bawaan keturunan dari orang tua.
Ada dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexsia (bawaan sejak lahir) dan aquired dyslexsia (didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developmental dyslexsia diderita sepanjang hidup pasien dan biasanya bersifat genetik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini berkaitan dengan disfungsi daerah abu-abu pada otak. Disfungsi tersebut berhubungan dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca). Beberapa tanda-tanda awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi huruf-huruf, bingung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna instruksi verbal, cepat, dan berurutan. Pada usia sekolah, umumnya penderita disleksia dapat mengalami kesulitan menggabungkan huruf menjadi kata, kesulitan membaca, kesulitan memegang alat tulis dengan baik, dan kesulitan dalam menerima.
tulisan ini saya kutip dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Disleksia